Fakta zaman dulu:

Para pendiri bangsa Indonesia menginginkan generasi setelah mereka mencintai tanah air Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.

Fakta saat ini:

  1. Globalisasi mengancam identitas, kredibilitas, dan kewibawaan kita sebagai bangsa yang mandiri;
  2. Beberapa kelompok generasi muda sekarang terkesan lebih mencintai dan menghargai produk-produk (barang, merk, karya seni, teknologi, gaya hidup, dll) dari luar negeri;
  3. Banyak Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di berbagai bidang (sains, olahraga, ekonomi, dll) yang bekerja di negara lain, yang tentunya untuk kepentingan perusahaan/lembaga di negara tersebut;
  4. Tempat-tempat umum (stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, rumah sakit, bank, dll) hampir selalu memiliki teknologi komunikasi sebagai media penyampai informasi (pengeras suara, gelombang radio, layar televisi, dll);
  5. Tempat-tempat umum selalu berisi aktivitas orang “menunggu/mengantri”. Secara psikologis, aktivitas ini mengkondisikan orang untuk tidak berbuat apa-apa, atau dengan kata lain tidak mengharuskan orang untuk melakukan tugas/tanggung jawab tertentu.

Bagaimana jika?

Pelajaran tentang nasionalisme disampaikan melalui materi audio dan/atau visual lewat media komunikasi di tempat-tempat umum (pengeras suara, gelombang radio, layar televisi, dll).

Inti dari materi audio dan/atau visual itu adalah menanamkan pelajaran nasionalisme dengan memanfaatkan keluangan waktu orang-orang yang sedang menunggu/mengantri di tempat umum.

Isi materi tersebut antara lain: info sejarah (waktu dan tempat peristiwa bersejarah), biografi tokoh, profil daerah dengan ciri khas tertentu, pengenalan karya seni daerah, dll.

Tujuannya ialah agar rakyat Indonesia selalu mendapat ilmu baru dan hal yang positif dan konstruktif, bahkan saat diam menunggu/mengantri di tempat umum.

Jika demikian (1):

Mungkin akan lebih banyak orang Indonesia yang mengetahui seluk beluk negaranya sendiri; lebih banyak generasi muda yang menghargai produk negeri sendiri; lebih banyak orang cerdas yang menggunakan kecerdasannya untuk turut serta membangun negara ini.

Jika demikian (2):

Mungkin nasionalisme Indonesia tidak hanya hidup di tataran teori, tetapi juga di hati setiap rakyatnya.

A Dhany Nugraha